Tuesday, September 14, 2021

Perjalanan Tak Terduga Saat Pandemi

Di saat pandemi mulai melanda di awal tahun 2020, saya masih merasa "Ah, paling hanya sekitar 3 bulan juga kelar." Lalu di akhir bulan September saat maskapai penerbangan me-refund tiket untuk perjalanan November, saya menerima kenyataan bawah ternyata pandemi in bisa berlangsung sangat lama, lebih lama dari yang saya bayangkan sebelumnya. Tapi saya tetap memperpanjang passport di bulan yang sama, bukan karena "siapa tahu bisa pergi" tapi mumpung imigrasi juga sepi, merasa lebih aman. Dan kali ini pun saya apply untuk e-passport, supaya bisa dapat visa waiver dari negara matahari terbit. Selain perjalanan ke Jepang di bulan November 2020 yang bubar, rencana perjalanan ke Taiwan di bulan Mei 2021 otomatis berhenti sampai rencana aja. 

Sebenarnya sih sedih banget harus batal perjalanan ke Jepang, karena ini pertama kalinya saya mengajak adik dan ipar untuk berlibur jauh bersama. Mereka pun sudah excited sekali, mau lihat Gunung Fuji, mau foto sama patung Hachiko, mau makan ramen favorit saya, dan banyaaaaak banget maunya! Tapi yang paling bikin mellow bukan saat tiket saya di refund, tapi saat saya harus cancel rumah sewaan di Tokyo πŸ˜‚ Rumahnya 2 lantai, rumah tradisional, walaupun dekat dengan Haneda (yang artinya agak jauh dari pusat kota), tapi hanya 1 kali naik kereta ke/dari airport Haneda. Ideal banget kan!

Di bulan April 2021, ada yang menyarankan untuk re-apply US Visa. Loh buat apa? Saya kan gak ada rencana buat ke US, not even in the next few years! Apalagi saat berkunjung di tahun 2011 saya kehilangan passport disana dan pulang dengan berbekal SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor). Saya pikir, haduh bisa ribet ini nanti di tanyain macem-macem. Eh tapi setelah dipikir-pikir, gak ada salahnya juga ya punya visa US, kali-kali dalem waktu 5 tahun ada kesempatan pergi atau mendadak pengen. Apalagi ditawarin akomodasi gratis kalau ingin berkunjung. Apalagi katanya mumpung lagi gampang karena sepi. Ya udah deh, mengisi aplikasi dengan jujur, ngaku pernah visit sekali, hilang passport disana juga, isi alamat tujuan juga dengan alamat orang yang menyarankan apply visa... Lalu di hari interview, yang lama itu proses antri di depan aja. Interviewnya sendiri paling cuma 1 menit. Kira-kira begini:

πŸ‘¨ : Why do you want to go?
πŸ‘© : Someone invited me and I thought why not, I can't go to any other part of the world anyway.
πŸ‘¨ : *ketawa* So where are you staying?
πŸ‘© : XXX's apartment. For free.
πŸ‘¨ : So you've been in the US before, when was it?
πŸ‘© : Summer 2011.
πŸ‘¨ : Ok, cool. You will get a notification when your passport is ready. Have a nice trip!
πŸ‘© : *bingung, udah gitu doang?* Thank you! *lalu melipir keluar*

5 hari kemudian dapat notifikasi surel kalau visa sudah jadi dan passport akan dikirimkan (karena saya pilih untuk dikirim saat mengisi aplikasi). Seneng dong yah, udah punya visa, dilihat-lihat, senyum-senyum, terus passportnya di simpen lagi di lemari sambil berharap semoga sebelon expire bisa kepake visanya πŸ˜… 

Awal bulan Mei udah terima THR dong... eh ada yang telpon dari US. Awalnya cuma nyuruh sesuatu, ujungnya: "Kesini aja mumpung saya ada disini!" Lalu saya kaya orang bego: Ha? Serius? Eh tapi ini masih pandemi loh! Eh tapi gak bisa kemana-mana gak tahu sampe kapan! Eh tapi ribet gak sih? dan "eh tapi eh tapi" lainnya... eh tapiiiii begitu balik kantor (pas di telpon saya di luar kantor) saya langsung buka portal nya Singapore Airlines, cek penerbangan, hubungi orang yang di US, sepakat tanggal nya, dan langsung beli tiket! There goes my THR! Sekedar lewat... πŸ˜‚πŸ˜‚ Yang lebih aneh, waktu saya beli tiket, harga tiket kelas ekonomi jauh lebih mahal di banding kalau kita ambil 1 way-nya premium economy. Tentu saya pilih yang pulangnya dengan premium econ, ga mau rugi lah. Seminggu kemudian saya dapat notifikasi bahwa pesawatnya ganti dan diminta menghubungi maskapai untuk re-issue tiket. Sempat bingung, kenapa musti re-issue ya kalau hanya ganti pesawat aja? Ternyata oh ternyata, penerbangan mereka semua hanya available untuk kelas Business dan Premium Economy, jadi tiket saya pun di upgrade gratis PP dengan kelas premium economy LOL Bahagiaaa! Karena kursi kelas PE ada foot-rest nya, jadi pinggang saya yang renta ini bisa selamat πŸ˜ 

Pada awalnya, sebelum pergi agak-agak niat mendokumentasikan proses penerbangan dengan serius dan baik, secara ini musim pandemi looooh, pasti beda kan. Pada akhirnya gak tercapai juga. Selain banyak keribetan proses transit, ditambah bawa backpack besar yang isinya portable monitor dan mini PC (supaya bisa WFH juga dari sana, tapi jadi beraaaaat), aduh sudahlah! Kalo niat atau inget foto ya foto, kalo nggak ya nonton aja. Cukup cerita-cerita ke orang terdekat apa bedanya proses penerbangan dan suasana transit, bahkan sambil sok-sok-an sedih memandang keluar jendela saat berjalan menuju boarding gate dan kirim pesan WA ke sahabat: "Finally in SIN tapi gak bisa ketemu huhuhuhuhu" halahhhhh!😌 Ow, sedihnya gak bo'ong loh, karena ada 2 teman dekat di sana yang biasanya ketemu paling tidak 1x setahun tapi ini sudah hampir 2 tahun cuma WA aja. Rindu acara curcol sambil makan-makan enak dan ngakak-ngakak gak jelas karena apa... CiPon and Momma Irene I miss you!! -- intermezzo

Anyway, mungkin saya bisa berbagi sedikit gimana proses penerbangan ya? Jadi saya terbang dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta dan pada saat check-in, kita wajib menyerahkan dokumen-dokumen ini selain passport:

1. Print-out hasil PCR negatif maksimal 72 jam sebelum keberangkatan dari Lab/Rumah Sakit yang terdaftar di sebagai Lab resmi di Kemenkes. Bisa di cek disini. Hasil PCR harus ada QR Code-nya yang akan di-scan dengan HP untuk mengecek keabsahannya oleh petugas maskapai. Saya membawa hasil PCR dari Bumame Farmasi. Penumpang di counter sebelah membawa hasil PCR yang tidak ada QR Code nya sehingga petugas maskapai harus menelpon dulu ke Lab tersebut untuk konfirmasi keaslian hasil PCR. Salah sendiri ye gak baca aturan dengan teliti!

2. Form Passenger Disclosure and Attestation to The United States of America yang sudah diisi dan ditanda-tangani. Pada dasarnya ini hanya formulir pernyataan bahwa kita bebas Covid-19 atau sudah dinyatakan sembuh selama minimal 3 bulan oleh lembaga kesehatan (kalau ini di tambah surat pernyataan resmi dari lembaga kesehatan terkait). Ini juga banyak penumpang yang gak bawa loh! Jadi harus di print dulu oleh petugas, disuruh isi, ttd. Jadi lama kan? 

Suasana lengang di Terminal 3 Bandara SoeTa

Entah bagaimana, saat menunggu boarding pass saya dibilang kena random check ("Ini biasa kok Bu, gak usah cemas, bisa terjadi sewaktu-waktu sama siapa aja." Begitu kata petugas sambil tersenyum) dan prosesnya agak lama sehingga saya hanya di beri boarding pass CGK- SIN, untuk boarding pass SIN - SFO akan diberikan di boarding gate katanya. Baiklah, maka saya pun berjalan menuju area keberangkatan. Ada petugas yang memeriksa passport dan boarding pass, lalu masuk menuju area pemeriksaan imigrasi, tinggal cari gate dan menunggu. Suasana airport? Sepiiiiiii sodara πŸ˜… Gak ada keramaian orang ketawa-ketawa atau ngobrol... semua mukanya serius, kebanyakan hanya terbang sendiri atau ber-dua, ada 2 pasangan yang membawa bayi. Rasanya kaya nunggu kereta terakhir menjelang tengah malam ROFL Lagi duduk menunggu nama saya dipanggil dan petugas di gate menyerahkan boarding pass SIN - SFO.

Penerbangan CGK - SIN sangat berbeda dari biasanya, bahkan tidak sampai 1/3 dari bangku terisi. Oh iya, masker wajib di gunakan di seluruh airport dan dalam sepanjang penerbangan, kecuali saat makan/minum. Selama di udara rasanya sepiiii saya juga males mau nonton ya apalagi cuma pendek waktunya. Ya sudahlah saya baca novel yang sudah di download di HP. Tiba di SIN sedikit lebih cepat dari jadwal, tapi proses keluar pesawatnya yang lama. Penumpang tidak boleh langsung turun seperti biasanya.

Yang pertama dipanggil keluar adalah penumpang yang memang tujuannya hanya sampai Singapore. Saya lihat hanya 2 orang yang berjalan keluar (1 dari kelas bisnis, 1 dari ekonomi). Sampai beberapa saat di panggil lagi lalu di sebut bahwa dalam daftar seharusnya ada 11 orang yang tercatat stop disana. Setelah berulang kali di panggil, gak ada yang jalan keluar juga. Akhirnya FA pun keliling menanyakan orang-orang siapa yang perhentiannya di Singapore. Dapet deh 9 orang lainnya, dan semua orang Indonesia! 😠 Entah gak ngerti Bahasa Inggris kah (pengumuman dalam Bahasa Inggris) atau ngantuk, tapi mereka bikin kita yang udah siap mau keluar jadi tertunda.

Bagian kedua yang dipanggil keluar adalah penumpang transit kelas Business. Dan terakhir penumpang sisanya. Begitu keluar pesawat, ternyata selain penumpang yang memang stop di Singapore semua sudah berbaris di luar. Ada petugas airport yang membantu proses keluar pesawat ini selain flight attendant / FA Kita diminta berbaris "in one straight line" lalu dipasang gelang transit. Sempat lama juga disini karena masih ada 1 penumpang yang gak keluar-keluar. Penumpang lain mulai gelisah karena jadi lama berdiri kan, apalagi saya yang bawa backpack berat, pegel cuy! Petugas yang bertugas membawa kami ke tempat transit pun berteriak bertanya kenapa dia belum boleh jalan? Eh petugas yang di dalam keluar dan bales berteriak (panjang barisan dari depan ke belakang lumayan juga yah, karena hanya 1 line), "There's one lady who's missing an earring, the stewardess are helping her to look for it!" Langsung pada asem deh muka penumpang yang sudah antri di luar LOL Setelah si penumpang terakhir keluar akhirnya kita semua berjalan rame-rame menuju transit area, baris dan antri lagi di Skytrain, pindah terminal, baris lagi dan melanjutkan jalan sampai ke transit area yang saat itu masih sepi. Selama berjalan pindah terminal semua orang nampak takjub celingak-celinguk melihat Changi Airport yang gelap dan kosong. Banyak yang merekam maupun mengambil foto airport sampai jalan ketinggalan dan di panggil untuk 'speed up please' dan 'please stay on the line', saya memilih jalan dengan tertib aja. Setibanya di transit area kami di info boarding 1 jam sebelum penerbangan dan nanti dipanggil lagi untuk menuju gate keberangkatan.


Begini penampakan gelang transitnya. Beda pesawat beda warna.

Mengantri Skytrain dengan tertib, berdiri pada tanda bulatan kuning yang disediakan.



Se-sepi ini transit area-nya pada saat saya masuk.

Nangkring disini sambil chat dan nonton video biar gak bosen.

Sebelum penerbangan, sudah ada yang info supaya saya bawa cemilan di tas, karena di transit area isinya cuma vending machine πŸ˜‚ Ya akhirnya cuma bawa coklat Chic-choc 2 bungkus, agak males juga kan ya musti buka-buka masker kalo ngemil. Tapi ternyataaaaaaa kita bisa delivery order! Hahahaha walopun sebenernya gak laper-laper amat (karena sempet makan di penerbangan CGK - SIN), ya akhirnya saya order Burger juga, just to try out the service *makhluk kepo*

Kapan lagi coba bisa delivery makanan di dalam airport πŸ˜€

Tinggal Scan QR Code, pilih resto yang available (seingat saya cuma ada 5 atau 6 yang buka dari T1-T3), bayar (menggunakan kartu kredit), dan tunggu. Kita akan menerima konfirmasi order melalui alamat email yang kita masukkan saat memesan dan dalam konfirmasi order ada nomor order. Pesanan akan diantar ke pintu masuk transit area, dan petugas akan memanggil nomor order kita.

Makan hasil delivery order. Semua di masukkan ke dalam container dan di bungkus saran wrap.

Oh iya, kalau kita sampaikan ke petugas mau merokok nanti petugas mengumumkan di transit area, siapa yang mau merokok silakan berbaris bareng-bareng, nanti petugas mengantarkan ke smoking area. Ditungguin deh selama merokok, kalau semua sudah selesai, di bawa balik lagi ke transit area LOL Saking keponya saya sempat menghitung berapa orang yang mau merokok, saat itu hanya 10 orang.

Setelah menghabiskan makanan hasil delivery order saya ke toilet untuk mandi (pakai disposable wash cloth yang mengandung alkohol), berganti pakaian dalam, cuci muka, sikat gigi, ganti masker, maklum penerbangan selanjutnya ber-durasi 15.5 jam, kalau fresh semua lebih nyaman. Jarak waktu sejak mendarat sampai penerbangan berikutnya adalah sekitar 5.5 jam. Tapi gak terlalu berasa ya, karena ada proses jalan ke transit area dan 1 jam sebelum penerbangan selanjutnya sudah boarding lagi. Tapiiii begitu keluar toilet saya cek jam. Loh, sepertinya seharusnya sudah menuju boarding gate nih, kok belum di panggil ya? Jalanlah saya ke pintu masuk dan cek... ternyataaaa rombongan penerbangan SIN - SFO sudah mulai berjalan menuju ke boarding gate!! Halah!! Mungkin dipanggil saat saya di dalam toilet, jadi gak dengar. Untung juga saya bukan satu-satunya yang ketinggalan, tapi petugasnya santai, katanya belum terlambat jadi gak perlu lari-lari.

Seperti biasa begitu tiba di boarding gate penumpang harus melewati pemeriksaan metal / bagasi sekali lagi. Bedanya dengan masa pre-pandemi adalah setelah melalui pemeriksaan kita tidak perlu duduk dan menunggu penerbangan, melainkan langsung berjalan masuk pesawat. Saya duduk paling depan, dan sederetan itu semua kursinya kosong dari ujung ke ujung. Satu kabin PE isinya gak sampai 15 orang.

Karena harus menggunakan masker terus selain saat makan, gak ada 1 penumpang pun yang ngemil dalam pesawat selain saya, males kali buka-buka masker 😁 Saya pun ngemil karena (yang pernah travel dengan saya pasti tahu) gak bisa tidur sepanjang 15+ jam penerbangan itu, sementara penumpang yang lain molor dengan sukses. Saya cuma baca, main game di HP, geser kanan, geser kiri... pas keluar dari lavatory, saya tanya ke FA: "Can I have some snacks, please?" FAnya kaya girang gitu akhirnya ada yang minta snacks, dikeluarin dong 1 tampah LOL Saya bilang cuma mau kacang aja, saya ambil 1 bungkus. Eh malah diambil seraup dan dikasih ke saya: "Take them, there's a lot." Bwahahaha lumayan deh di kantongin 😜 Oh iya, makanan selama penerbangan kayanya gak ada perubahan seperti masa pre-pandemi yah.

Penerbangan CGK - SIN. Spicy Beehoon, Pandan Cake. Karena bihunnya enak (rasanya pedas asam) saya pilih ini lagi dalam penerbangan SIN - CGK.

Penerbangan SIN - SFO, Dinner Menu. Es krim Vanilla nya enak banget.

Penerbangan SIN - SFO, Breakfast Menu. Ini enak semua, abis loh saya makannya.

Setibanya di SFO, gak ada keribetan dalam proses keluar pesawat, normal aja. Antrian imigrasi juga gak lama, mungkin karena terbatas pesawat yang beroperasi dan mendarat disana, tidak seperti biasanya. Total waktu sejak saya turun pesawat sampai keluar pintu airport sepertinya tidak sampai 30 menit. Begitu keluar pintu, terkena hembusan angin dingin sambil nunggu di jemput, baru deh sadar: "Hah! Gua nyampe juga disini! Berhasil juga keluar kandang di masa pandemi! Oh wow!" πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Ternyata banyak cerita dari perjalanan kali ini yang memakan waktu 1 bulan lebih termasuk karantina saat kembali ke Indonesia. Bertemu orang-orang tidak terduga, kenalan dengan teman baru, bisa merasakan bernafas di alam terbuka tanpa masker, pokoknya I feel so blessed beyond measure! Saya percaya saya bisa melakukannya karena berkat Tuhan. Apakah saya gak kerja selama disana? Kerja dong, ya kali bisa cuti sebulan gak kerja sama sekali πŸ˜… Dalam seminggu pasti ada beberapa hari WFH, dan waktunya disesuai kan dengan jam kerja kantor yang di Jakarta. Jadi biasanya saya kerja sekitar Pk. 22.00/23.00 (tergantung pulang jalan-jalan jam berapa😁) sampai Pk. 01.00 - 02.00 (kalau ini tergantung kerjaannya).

Begitulah ceritanya... apakah perlu dilanjutkan dengan cerita karantina hotel saat pulang yang bikin mati gaya? ROFL Semoga teman-teman bisa bepergian juga sebelum pandemi berakhir... nampaknya banyak yang sudah bepergian domestik ya? Semoga teman-teman lain yang belum sempat bepergian karena berbagai macam alasan bisa cari kegiatan berarti juga di rumah. Have fun!

Thursday, March 18, 2021

Nama Panggilan dan varian-variannya.

 

Istirahat dulu dari cerita jalan-jalan. Nggak, nggak lupa kok, masih lengkap catatannya. Tapi makin sering nulis cerita jalan-jalan, makin gatel pingin bikin itinerary. Padahal gak tahu kapan bisa jalan-jalannya dan mau kemana juga sih πŸ˜‚ Di jeda dulu sama yang lain.

Jadi soal nama ini ya... hmmm, orang-tua (tepatnya Papi saya) kasih nama yang cukup panjang, walaupun 2 kata di belakang itu berkaitan dengan marga. Tapi anehnya cuma saya yang dikasih marga di Akta Lahir, padahal saya perempuan. Adik saya yang laki-laki gak dipake-in marga loh di Akta Lahir nya! Padahal untuk orang Batak itu anak laki-laki kan kan kayanya wajib banget ye sebagai penerus warga. Emang Papi suka aneh juga nih. Tapi berhubung nama saya lebih panjang ini yang suka bikin ribet kemana-mana. Padahal banyak yang saya tahu namanya lebih panjang dari saya.

Pada akhirnya, nama panggilan saya pun jadi banyak. Dari nama depan, nama tengah, beserta varian-varian-nya yang bernada sayang sampe gak jelas πŸ˜… Sampe kadang saya suka mikir, ini saya dipanggil begini awalnya gara-gara apa ya? 😁 Gak cuma bikin bingung, tapi pernah bikin rumit juga di imigrasi, ribet lah! Coba kita lihat, seberapa norak dan pernah seribet apa sih? Sampai-sampai suatu waktu Pak Boss pun dulu pernah nanya setelah terima telpon: "Sebenernya nama panggilan kamu ada berapa sih?" LOL

Sumbernya dulu nih, nama lengkap sesuai Akta Kelahiran: Tresia Juliette Kristin L***** T*****. Iya, sengaja 2 kata terakhir di bikin *** emang. Karena gak pernah jadi nama panggilan 😌

Dikasih nama Tresia dari kata Treize alias 13 dalam bahasa Perancis, karena saya lahir di tanggal 13 dan Papi sempat tinggal Perancis cukup lama sebelum menikah. Juliette karena well, Romeo & Juliet tentunya, Puji Tuhan hidup saya tidak tragis πŸ˜… Kristin karena nama Opung Boru atau Ibu dari Papi adalah Kristen.


Kristin - Titin - Ithin - Kitin 

Jadi sedari kecil orang tua saya memanggil dengan sebutan Kristin. Begitu juga dengan saudara-saudara. Karena kalau di singkat manggilnya jadi, "Tin!" Akhirnya menjadi Titin, Ithin, Kitin, tapi gak beda jauh lah ya? Nama Kristin terus jadi panggilan sehari-sehari di rumah, gereja, selama saya bersekolah di SD dan di lingkungan keluarga. Jadi kalau ada orang ketemu di jalan dan manggilnya salah satu dari varian ini, bisa di pastikan dia kenal saya dari kecil atau kenalnya dari saudara atau di lingkungan gereja. Masih bisa di bedakan.


Juliette - Etet

Seumur-umur, nama ini cuma 1 orang pake buat manggil, Kakak kelas saya di SMA dalam ekstrakurikuler yang sama. Entah kenapa waktu dia tahu nama tengah saya lalu manggilnya jadi begini, asal nyomot. Padahal gak ada loh teman yang nyebut saya begitu. Bahkan setelah dia lulus dan sekolah ke luar negeri, sempat beberapa kali kirim kartu pos yang di buka dengan, "Halo, Etet!" πŸ˜‚ Nggak ada apa-apa kok antara saya dengan dia, beneran! Cuma seneng cerita yang lucu-lucu aja. Bukan curhat-curhatan juga malah. Sayangnya, sudah gak pernah ketemu lagi. Gak berhubungan di medsos juga. Mungkin suatu hari lucu juga kalo saya lagi jalan lalu tiba-tiba ada yang manggil, "Etet!" Nah, ketemu deh!


Tresia - Tres - Tresi - Tere - Ter

Saya bersekolah di SD swasta lalu melanjutkan ke SMP Negeri. Disini semua siswa harus memakai papan nama dan saya harus membiasakan diri dengan nama depan saya, Tresia. Saking gak biasanya, pernah loh teman sekelas saya panggil-panggil tapi saya gak nengok, lalu saya dibilang sombong 😒 Padahal cuma gak kenal nama sendiri πŸ˜‚ Akhirnya saya sering banget ngeliatin papan nama di dada dan mengingatkan diri sendiri, "Tresia loh, Tresia... namanya sekarang Tresia!" Di SMP saya sempat suka menulis untuk mading alias majalah dinding, yang mungkin anak sekarang gak ada yang tahu lagi apaan tuh? Sana di-googling, punya kuota kan? Atau tinggal klik aja link di atas.

Ya tentu saja varian-variannya juga berupa singkatan. Tres dan Tresi kebanyakan saat SMP. Dan karena Tresia agak jarang di banding Theresia akhirnya jadi banyak yang mendekkin jadi Tere, dan kalau buru-buru jadi Ter. Ini kebanyakan terjadi saat kuliah. 


Tresia - Tre - Tore - Tore-chan

Ini mungkin varian nama panggilan versi 20 tahun-an terakhir 😁 Jaman lagi heboh-hebohnya F4 dan banyak gaul dengan teman-teman dari fandom Mando-Pop maupun J-Pop, nama panggilan saya mulai berubah menjadi Tre. Saat itu K-pop belum terlalu heboh sih, tapi saya sudah menjadi penggemar Shinhwa. Gak ada hubungannya tapi dibahas ya, penting! 

Lalu karena semangat nonton anime dan mimpi pingin ke Jepang menggebu-gebu, saya pun les Bahasa Jepang bersama beberapa teman lainnya. Karena orang Jepang tidak bisa menyebut 2 konsonan berurutan, maka nama panggilan saya berubah dari Tre menjadi Tore. Dan karena saya perempuan, ditambahkan sapaan -chan di belakang, menjadi Tore-chan. Di tahun-tahun berikutnya setelah saya akhirnya mampu berkunjung ke Jepang dan memiliki banyak teman orang Jepang, nama panggilan ini semakin melekat bahkan yang bukan orang Jepang pun menyapa saya dengan nama itu.

Ada cerita lucu sih, suatu saat saya bertemu dengan ibu teman saya untuk pertama kalinya. Setelah itu teman saya cerita mamanya tanya nama saya siapa? Dia jawab, "Tore-chan." Mamanya terkejut dan membalas: "Ha! Kok cakep-cakep (cieeeee) namanya Tokecan!" πŸ˜΅πŸ˜‚ Tapi akhirnya saya jadi dekat dengan Mama nya loh, malah Mama nya suka telpon saya di HP kalau lama gak ketemu (tinggal di luar kota). Senyum saya langsung merekah kalau angkat telepon, baru bilang halo lalu ada suara: "Tore-chan, ini Mama Yxxxxx!". Walaupun harusnya malu, kan mustinya saya yang telpon duluan ya πŸ˜€

Nama panggilan Tore-chan pula yang sering membuat saya dikira masih muda (atau mungkin saya yang keGRan, bisa jadi juga). Mungkin karena sounds childish? Entahlah. Tapi adik sepupu bikinin saya account twitter (setelah saya bilang males bikin, loe aja bikinin kalo mau... eh beneran di bikinin πŸ˜†) dengan handle name ini. Dan waktu mau bikin account IG, saking males mikirnya ya udah disamain aja LOL Begitulah asal mula kepopuleran Tore-chan 😎 


Tre - Tree - Tri - Trey - Tray

Ini varian dari mana? Varian nama panggilan yang di kasih barista gerai kopi St**b**ks! πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚ Heran loh, padahal saya seringkali mengeja nama yang hanya 3 huruf itu kenapa bisa jadi macem-macem ya? Mungkin para baristanya cukup imajinatif. Gak apalah, yang penting pesanan saya gak salah.


Masalah saat traveling

Nama saya yang panjang itu, waktu pertama kali bikin KTP, oleh Kelurahan disingkat menjadi Tresia JKL T*****. Lalu saat bikin paspor saya tulis Tresia Juliette Kristin. Di profile kantor nama saya disingkat menjadi Tresia Kristin, demikian pula kartu kredit dan wahana pembayaran lainnya.

Sewaktu saya bepergian ke Amerika Serikat tahun 2011, saya kehilangan paspor di Anaheim. Saya pun akhirnya bikin surat kehilangan paspor di kantor polisi setempat dengan membawa fotocopy paspor yang hilang (minta dari hotel, karena saat kita check-in paspor harus di copy). Keesokan harinya saya harus terbang kembali ke San Francisco untuk pulang ke Indonesia beberapa hari kemudian (setelah membuat SPLP - Surat Perjalanan Laksana Paspor, tentunya). Check-in dilakukan di mesin dan saat mau masuk tempat menunggu boarding saya menunjukan surat kehilangan paspor dan fotocopy paspor.

Disinilah keribetan terjadi karena pemeriksaan TSA yang sampe 3 orang bergantian. Di tanya bagaimana bisa hilang, kira-kira hilang dimana, kok punya copy paspor yang hilang, kenapa terbang ke San Francisco, dan segala macam pertanyaan lainnya. Lalu saatnya saya membuktikan identitas, mereka minta identitas diri lainnya. Saya keluarin KTP dan bilang, "This is my Indonesian ID." Ya KTP kita saat itu kan cuma kertas di laminating doang, belon e-KTP seperti sekarang, petugas melengos aja minta pengenal lain πŸ˜‚ Kasian deh gak laku KTP nya.

KTP gak laku, keluarin kartu kredit. Di tanya kenapa namanya cuma 2 suku kata. Saya tunjukin 3 buah kartu kredit dengan nama yang sama. Petugas terakhir sepertinya jabatannya paling tinggi, nanyanya paling anteng, gak berasa kaya interogasi, tapi sama juga masih curiga dengan KTP dan kartu-kartu kredit yang namanya gak ada yang sama. Lalu tiba-tiba saya ingat, sepertinya saya bawa SIM deh (padahal gak sengaja, wong mana berani nyetir disana kan ya). Akhirnya terakhir saya keluarin SIM Indonesia, namanya sama dengan KTP tentunya. Horeeee! Saat itu SIM sudah ber-hologram! Baru deh di bolak balik, lalu di angkat ke arah cahaya, di terawang dengan sebuah alat yang di tempelkan ke matanya, dan akhirnya sukses! Saya boleh melewati petugas dan masuk ke area boarding dengan di beri ucapan: "Have a good day and safe flight, Ma'am." 😭😰 Legaaaa... 

Begitulah sodara-sodara... kadang punya nama panjang tapi tidak disingkat dengan benar pun bisa jadi masalah. Bukan hanya dengan benar, dengan tepat juga sih harusnya.

Jadi, kalau kalian punya berapa banyak nama panggilan? Pernah ada kejadian aneh juga kah akibat nama? Cari temen.... πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Thursday, February 25, 2021

JAPAN TRIP 2019: Melarikan Diri dari Typhoon Hagibis

Sebelumnya...



Sabtu, 12 Oktober 2019
Pk. 04.30 saya sudah turun ke lobby. Saya check-out duluan dan menunggu teman-teman. Saat itu ada orang lain yang check-out juga dan saya lihat dia bisa minta dipanggilkan taxi. Rupanya kalau pesan semalam tidak bisa karena belum tahu cuaca, tapi pagi ini saya cek di luar hanya gerimis dan memang dingin sekali. Setelah semua berkumpul saya minta dipesankan 3 buah taxi untuk menuju Nagoya Station.

Perjalanan pendek sekali karena memang dekat hanya sekitar 2km, tapi kalau musti jalan di tengah cuaca dingin dan gerimis mungkin bisa sakit juga πŸ˜… Pk. 05.00 kami sudah di Nagoya Station, di luar masih gelap total tapi saya melihat banyak orang masuk bawa koper, nampaknya banyak yang ingin "melarikan diri" seperti kami. Benar saja, begitu masuk kami melihat antrian sudah mengular karena gate platform shinkansen belum dibuka, biasanya buka sekitar Pk. 05.30. Akhirnya kami menunggu sambil ngobrol... lucunya, ada 1 taxi yang isinya Om S, Tante N dan Tante I yang entah kenapa saat kami sudah antri mereka baru tiba. Dan mereka gak tahu mereka turun di gate yang mana. Setelah cari-carian, ternyata mereka diturunkan di pintu lain, arah kebalikan dari tempat kami turun. Jadi lama karena taxi harus memutari Station, tapi sebenarnya supir tidak salah karena pintu itu justru lebih dekat ke shinkansen gate 😁 tapi karena belum pernah lewat sini jadi bingung LOL

Di belakang kami setelah itu lebih panjang lagi antriannya.

Antrian di pecah menjadi 2 baris. Padahal nantinya pas gate dibuka masuknya berantakan juga, petugas stasiun bolak-balik berusaha menertibkan.

Begitu pintu menuju platform dibuka menjelang Pk. 06.00 (terlambat buka mungkin karena persiapan hanya shinkansen tertentu yang beroperasi) kami langsung mencari tempat antri di gerbong yang benar. Kami tidak terlalu lama menunggu setelah kereta pertama berangkat, tapi masih menunggu di dalam shinkansen. Dan ini untuk pertama kalinya saya naik shinkansen yang penuh sesak! Maksudnya, diperbolehkan ada penumpang yang berdiri memenuhi semua gerbong!

Kami termasuk cepat masuk gerbong. 20 menit kemudian sudah gak bisa foto-foto, bagian tengah sudah penuh dengan orang berdiri berdesak-desakan.

Selama perjalanan teman-teman yang baru pertama kali naik shinkansen terheran-heran melihat ada kursi kosong yang tidak diduduki orang πŸ˜‚ Kursi kosong biasanya karena penumpangnya turun di tengah jalan, mereka yang berdiri dan memang tidak beli tiket duduk tidak akan menempati kursi tersebut, termasuk orang-orang tua. Perjalanan yang seharusnya hanya makan waktu 35 menit pun menjadi hampir 1 jam karena kereta berhenti di setiap stasiun yang ada.

Kami tiba di Kyoto Station sekitar Pk. 07.30 dan pertama kalinya pula saya melihat Kyoto Station kosong melompong selain dari penumpang yang turun dari kereta yang sama! Dalam perjalanan-perjalanan sebelumnya, bahkan jam 6 pagi pun sudah ramai sekali πŸ˜• Belakangan saya baru tahu bahwa kebanyakan kantor memang di tutup untuk antisipasi typhoon lewat. Hal pertama yang kami lakukan adalah ke toilet LOL Setelah itu saat menuju ke taxi stand kebetulan sebelum pintu keluar ada supermarket. Tante N dan Tante I sudah mengingatkan bahwa mereka bawa makanan dari Jakarta, jadi saya sempat mampir beli nasi instan 7 bungkus dan beberapa snacks, siapa tahu kami benar-benar tidak bisa keluar rumah hari ini.

Kembali kami di pecah jadi 3 rombongan taxi karena semua bawa bagasi, dan ada batasan penumpang dalam 1 taxi tergantung jenis mobilnya. Sebenarnya Mrs G dan Mr H sudah booking akomodasi lain yang walking distance dengan Kyoto Station, tapi tidak bisa check-in lebih cepat, baru bisa diatas Pk. 15.00 nanti. Jadi mereka ikut ke tempat kita untuk beristirahat. Saya sudah screenshot alamat tujuan kami (dalam kanji) dan teruskan ke yang lain jadi tinggal ditunjukkan ke supir taxi. Kebetulan taxi saya berada di urutan ke 2, eh tapi rupanya supir taxi teman kami di depan sudah lebih sepuh dan lama sekali jalannya, akhirnya supir kami jalan duluan setelah memasukkan alamat ke GPS dan kasih kode 2 taxi lainnya untuk mengikuti πŸ˜€

Bukan hanya Kyoto Station yang sepi, tapi sepanjang perjalanan menuju rumah sewaan jalanan pun sepi. Hampir-hampir tidak ada orang di tepi jalan, mobil juga hanya sedikit. Dan masih hujan walaupun tidak deras. Tiba di akomodasi, ruangan lantai 1 yang ada 3 tempat tidur ditempati oleh Om S dan Tante N. Tante I pun menaruh kopernya disitu karena malas bawa naik ke atas LOL Untuk naik ke lantai 2 harus melewati selasar, kemudian area terbuka tempat mesin cuci dan ada tangga keatas yang lumayan juga tingginya πŸ˜… Di lantai 2 ada 1 kamar berisi 3 tempat tidur dan 1 ruang tatami dengan futon untuk 3 orang juga. Selain itu ada ruang makan dan dapur kecil, kulkas dan pengering baju. Mungkin karena malamnya semua juga kurang tidur + tegang + excited, begitu tiba di atas semua lepas sepatu, lepas jaket, cuci muka, cari tempat kosong buat letakin koper, nyalain AC, dan langsung cari spot buat molor! πŸ˜‚πŸ˜‚ Padahal saat itu hari masih cukup pagi, bahkan belum jam 9... Saat buka kulkas, memang banyak air mineral botolan ukuran 500ml yang disediakan oleh Takashi. Tapi karena kami ada 6 orang di atas, jadi nya malam itu pun sudah habis.

Menjelang jam makan siang, kami melihat keluar angin bertiup sangat kencang walaupun hujannya belum deras. Tante-tante pun mulai mengeluarkan perbekalan, dari rendang sampai cakalang. Tapi hasrat jajan masih kuat, akhirnya 5 anak bawang pun nekat keluar jajan ke supermarket Daikokuya πŸ˜† 

Demi jajan nekat keluar, lihat aja jalanan sekeliling sepi total gak ada orang yang keluar rumah.

Padahal jalannya cuma 5 menit-an tapi karena angin jadi pelan-pelan. Bahkan kami sempat melihat orang di depan kami payung nya terbalik kena angin! Jadi kami pakai payung pun bukan di atas kepala tapi lebih ke depan kepala untuk menahan angin juga πŸ˜… Puas jajan, kembali ke rumah semua makan siang bareng di ruang makan yang sempit itu hahaha Penghuni Lantai 1 pun naik ke atas, berbagi makanan yang ada. Setelah itu... molor lagiiiii πŸ˜‚

Tante-tante dan Om sudah melipir ke lantai 1 lagi setelah makan, kita masih sibuk makan jajajan.

Sambil tidur-tiduran, saya masih sempat cek situasi typhoon dan bersyukur sekali karena memang saat itu curah hujan Nagoya termasuk yang paling tinggi disertai angin kencang. Sedangkan di Kyoto masih tidak terlalu parah walaupun tidak disarankan juga untuk pergi-pergi keluar.

Sekitar Pk. 17.00 Mrs G & Mr H pesan taxi untuk ke penginapan yang sudah mereka pesan. Malam itu pun kami lebih cepat beristirahat dengan pembagian kamar final: Saya dan Tante I di kamar tatami, Miss M dan Mr S di kamar dengan bed. Semua tidur dengan lega karena akhirnya kami tidak terjebak typhoon dan berharap bahwa besok cuaca cerah sehingga acara jalan-jalan bisa terlaksana sesuai rencana.


Tuesday, February 16, 2021

JAPAN TRIP 2019: Shirakawago & Takayama, Typhoon Hagibis Yang Bikin Panik

 Sebelumnya...



Note: Banyak foto di postingan ini :) 

Jumat, 11 Oktober 2020
Sejak semalam mulai banyak berita tentang Typhoon Hagibis, ada beberapa daerah yang dilewati pun terkena banjir. Saat kami keluar pagi-pagi angin juga sedikit kencang, tapi kami masih berpikir semuanya baik-baik aja dan tidak akan mengganggu jadwal kami.

Kami naik kereta ke Nagoya Station dan langsung menuju ke Meitetsu Bus Center di lantai 4. Sempat celingukan cari tempatnya dan ke halte yang salah, karena saat kami tiba di atas ternyata signage penyelenggara tour nya belum dipasang πŸ˜… Ada turis Cina juga yang mencari tour yang sama dengan kami. Setelah ketemu kami registrasi ulang sekalian saya lapor bahwa akhirnya kami hanya ber-8. Kami pun diberi pita penanda group yang harus disematkan di baju.

Tour Bus berjalan tepat waktu. Tour Guide kami seorang perempuan muda bernama Marie yang ternyata masih kuliah tahun terakhir di Nagoya University jurusan Hubungan International. Dia bekerja part-time menjadi tour guide untuk memperlancar Bahasa Inggris. Sepanjang perjalanan Marie menjelaskan tempat-tempat yang kami lalui. Waktu saya memuji Bahasa Inggris nya yang baik dan tidak terlalu beraksen dia menjawab: "My teacher is American, he won't be happy if my English is bad." πŸ˜‚ Tujuan pertama kami adalah Takayama. Sempat mampir di sebuah rest area di tengah perjalanan dan menyempatkan diri beli soft cream dan korokke.

Bus parkir dan memberi kami waktu sekitar 90 menit untuk berjalan-jalan di sekitar Takayama Old Town. Takayama adalah sebuah kota pegunungan di Prefecture Gifu. Takayama Old Town adalah area dimana sentuhan tradisional masih di jaga, termasuk bangunan-bangunannya. Di jaman feodal, Takayama juga merupakan penghasil kayu dan tukang kayu berkualitas, sehingga pemerintahannya di kontrol langsung oleh shogun dan menjadi kota yang cukup makmur saat itu.

Agak susah juga foto disini karena selain ada kendaraan dan orang lewat, ya banyak yang mau foto juga. Bahkan sebelum itu ada pasangan calon pengantin yang berfoto pre-wed.

Andaikan rumah saya sekelilingnya seperti ini... apa daya adanya jalan tol πŸ˜‚

Kalau gak salah ingat tempat ini adalah sebuah sake brewery, sayang masih siang padahal bisa taste test gratis loh hahaha

Selain mencoba soft cream matcha, saya juga sempat membeli 2 buah anting-anting di sebuah toko perhiasan. Sayangnya saya tidak sempat mencoba korokke yang terbuat dari Hida Beef yang menjadi specialty disana, karena 2x saya lewat toko yang menjual semuanya antri panjang.

Akhirnya dapat view yang agak sepi. Sebelumnya jalanan ini penuh dengan turis baik domestik maupun internasional. Saya menikmati sekali menyurusi jalan perlahan-lahan, berhenti melihat bunga di depan rumah penduduk. 

Sebuah kuil kecil di samping tempat tour bus kami parkir. Saat itu ada sekitar 3 tour bus yang sedang berada disana. 

Karena masih ada waktu, saya berniat mencari sebuah cafe kecil yang saya temukan online. Setelah mencari-cari selama 10 menit saya nyerah juga karena takut terlambat kembali ke bus. Tapi masih sempat berjalan-jalan di weekend market di ujung jalan. Ada 1 toko yang menjual fabrics khas Jepang, aduhhhhh saya lamaaa sekali berdiri didepan situ karena galau mau beli apa nggak πŸ˜‚ Selain motifnya bagus-bagus, banyak yang lagi sale juga hahaha Tapi lagi-lagi gak jadi beli, karena ya saya gak bisa jahit, kalau minta jahitin orang lain belum tentu cocok. Sedih... jadi pingin les jahit... *loh*

Dari Takayama Old Town, kami menju tempat makan siang di Hotel Green Takayama. Tadinya saya pikir makan siang nya biasa aja, tapi ternyata buffet yang disediakan sangat lengkap! Dari makanan jepang sampai western. Dessert pun banyak, ada kue-kue kecil, pudding, buah-buahan segar. Cukup menyenangkan karena waktu yang disediakan juga tidak membuat kami terburu-buru walaupun harus antri dengan tertib. Staff hotel sangat ramah dan helpful, ketika toilet wanita di dekat ruangan makan siang penuh mereka menunjukkan toilet di lokasi lainnya yang lebih sepi. Jadi buffet tersebut tidak diatur di restoran mereka, tapi menggunakan sebuah ruangan besar / function hall. Sepertinya memang bekerjasama dengan penyelenggara tour untuk menyediakan makan siang.

Setelah 1 jam kami pun sudah berada di atas bus lagi, siap untuk berangkat menuju Shirakawa-go. Sesaat setelah bus mulai berjalan handphone saya bergetar, saya pun dengan santai membuka email yang masuk. Tapi oh tapi, surat yang masuk isinya adalah pembatalan bus kami dari Nagoya menuju Kyoto karena typhoon! Saya pun panik dan buru-buru browsing mengenai kondisi transportasi yang ada. Dan ternyata semua transportasi menuju Tokyo dan Kyoto dibatalkan termasuk dengan shinkansen. Waduh, akhirnya saya info ke teman-teman yang lain.

Hal pertama yang saya cek adalah: apakah bisa memperpanjang hotel 1 hari saja. Karena kabarnya transportasi tidak berjalan hanya 1.5 hari karena typhoon lewat. Setelah saya cek ternyata bisa, tapi harga perpanjangan 1 malam lebih mahal dari harga menginap 2 malam kami 😟 Hmm.. rasanya gak rela. Ada pesan masuk di FB dari Kota, dia tanya saat ini saya ada dimana dan kondisi bagaimana? Saya ceritakan soal pembatalan bus dan kemungkinan kami extend 1 hari di Nagoya. Kota justru bilang sebisa mungkin, kalau perlu malam ini juga pergi ke Kyoto karena keesokan hari nya cuaca Nagoya akan parah sekali, kami akan terkurung di hotel. Itupun kalau tidak ada banjir atau kejadian lain-lain, bisa-bisa kami tertahan disana lebih lama, sedangkan menurut Kota masih lebih aman Kyoto saat itu.

Tambah pusing saya... Saya tanya ke Marie, tour guide kami apakah benar sama sekali tidak ada transport ke Kyoto besok. Dia cek di HP dan bilang gak ada. Ya sudah, saya berusaha tenang. Karena mau naik shinkansen terakhir malam ini pun sudah tidak mungkin. Jadwal terakhir Pk. 21.15 sedangkan jadwal tour kami kembali ke Nagoya Station Pk. 20.00, kami belum packing dan masih harus beli tiket, tidak cukup waktunya. Tiketpun belum tentu masih ada. Kami semua meledek Om S yang juga adalah majelis gereja saya: "Ayo Om, doa majelis harusnya lebih manjur nih, Om berdoa dari sekarang supaya kita bisa ke Kyoto!" πŸ˜‚ Yang lain masih bisa ketawa, saya ketawa tragis LOL Tapi kesantaian teman-teman cukup bikin kepanikan saya berkurang. Panik juga gak bikin kita bisa terbang pake baling-baling bambu ke Kyoto kan ya? πŸ˜†

Diperjalanan menuju Shirakawa-go sebagian ada yang mulai tidur. Saya masih browsing santai dan kirim pesan ke Takashi, host airbnb kami di Kyoto. Bertanya kalau memungkinkan apakah kami bisa check-in malam ini? Dia bilang gak bisa, masih ada tamu. Tapi dia minta di update juga kalau misalnya kami tidak bisa sampai di Kyoto besok, dia akan refund biaya 1 malam. Baik sekaliii... Saat mencari info tiba-tiba saya lihat berita dalam bahasa Jepang (baca pakai google translate) bahwa besok pagi masih ada 3 jadwal shinkansen menuju Kyoto dari Nagoya, semuanya pagi sebelum jam 07.00! Saya buru-buru tunjukan ke Marie, ini benar gak sih? Setelah membaca dia bilang sebentar saya cari infonya yang lebih jelas. Dia buka HP dan cari-cari berita, akhirnya dia konfirmasi bahwa benar masih ada 3 shinkansen yang menuju Kyoto. Kalau menuju Tokyo sama sekali tidak ada. Wah, saya happy sebentar tapi terus baru ingat, tiketnya gak bisa beli online, harus beli di loket! Saya langsung cek jam operasional JR Ticket Office di Nagoya Station, dan infonya tutup Pk. 20.00 πŸ˜“ Haiya! Semua saya sampaikan ke group dan mereka bilang kalau memang harus extend 1 malam gak apa. Maka pasrah aja kami, que sera sera, whatever will be will be.

Setelah perjalanan sekitar 1 jam, kami tiba di Observatory Deck - Shirakawa-go, dimana kami bisa melihat seluruh view Shirakawa-go dari atas. Indah! πŸ’“

Keluarga Tanuki di Observation Deck. Walaupun Tanuki sering disebut sebagai Racoon Jepang, sesungguhnya Tanuki termasuk dalam kategori Canidae atau binatang yang menyerupai anjing. Tanuki sendiri terkenal dalam mitos Jepang sebagai shape-shifter atau makhluk yang bisa berubah rupa. Banyak rumah yang memasang patung tanuki di depan pintu karena dianggap membawa rejeki.

Keren ya desa yang di kelilingi oleh gunung.

Kelihatannya dekat padahal masih agak jauh juga dan jalan menuju kesitu pun berkelok-kelok. Beberapa kali bus harus bergantian dengan mobil lain dari arah sebaliknya.

Sekali-kali ada muka saya gpp lah ya walaupun selfie nya juga buru-buru saking ramenya orang yang mau foto disana LOL

Sekitar 20 menit perjalanan kami pun tiba di Desa Ogimachi Shirakawa-go. Baru sampai parkiran aja kami sudah melihat pemandangan indah, dan kami harus melalui sebuah jembatan panjang untuk memasuki desa.

Kelihatan gak panjangnya jembatan? Nyebrang sungai ini loh.

Sungai-nya aja bersih banget ya... Tapi kering gak banyak air.

Shirakawa-go adalah sebuah daerah di sepanjang lembah Sungai Shogawa. Menjadi bagian dari UNESCO World Heritage Site di tahun 1995 karena atap rumahnya yang disebut Gassho-zukuri atau "seperti tangan berdoa". Arsitektur rumah / atap tersebut di buat untuk bertahan dari curahan salju di musim dingin. Kebanyakan rumah-rumah tersebut terdiri dari 3 - 4 tingkat dan atap Gassho di buat tanpa menggunakan 1 buah paku-pun! Murni hanya konstruksi kayu yang dibuat sedemikian rupa untuk mampu menopang atap dan melindungi rumah di setiap musim. Marie sempat menjelaskan bahwa banyak yang salah sangka mengira penduduk Shirakawa-go adalah orang biasa yang tidak punya banyak uang. Salah besar. Karena hanya 1 sisi atap Gassho itu biaya pembuatannya bisa mencapai JPY 20.000.000,- atau sekitar Rp 2.6 milyar dengan kurs tukar saat ini! Silakan di kali 2 untuk harga 1 atap utuh πŸ˜… Hampir semua rumah disana adalah rumah peninggalan dari jaman dahulu, bahkan ada yang sudah berusia 250 tahun. Sehingga perawatan rumah-rumah ini pun tidak murah. Rumah-rumah ini disebut minshuku dan perlu perawatan dari waktu ke waktu yang pastinya tidak murah juga.





Agak bingung juga mendadak nemu patung The Thinker dari Rodin di depan sebuah rumah penduduk πŸ˜…

Pemandangan disini benar-benar magical. Saya jadi mengerti kenapa sampai ada yang terobsesi harus mengunjungi tempat ini dalam 4 musim. Saya termasuk orang yang ingin kembali walaupun mungkin gak dalam setiap musim 😊

Ada 3 rumah yang bisa di kunjungi (masuk sampai ke dalam) di Ogimachi ini: Wada House (rumah terbesar di desa, karena keluarga Wada termasuk keluarga paling kaya dan pemimpin desa), Kanda House (rumah keluarga Kanda yang terletak di tengah desa sehingga bisa melihat hampir seluruh desa dari jendela lantai paling atas) dan Nagase House (Keluarga Nagase adalah keluarga dokter. Rumah ini banyak showcase alat-alat kedokteran). Daytour sudah termasuk tiket masuk ke salah 1 rumah tersebut yang sudah di alih fungsi menjadi museum, kami sudah diberikan tiket saat masih di atas bus.

Sesungguhnya saya ingin mengunjungi Nagase House, tapi letaknya agak di ujung. Sedangkan Wada House ramai sekali, akhirnya kami memutuskan mengunjungi Kanda House. Cuaca cukup dingin saat itu, tapi begitu masuk ke dalam rumah rasanya langsung hangat karena ada perapian yang menyala. Dan seperti info yang saya dapat, pemandangan dari lantai atas memang bagus sekali! Sungguh tidak menyesal memilih masuk kesini.

Tampak depan dari Kanda House.

Kolam ikan di halaman persis sebelum pintu masuk.

Lantai 1. Perapian tradisional di tengah ruangan yang membuat lantai 1 menjadi hangat.

Kain pemisah ruangan yang sudah berumur ratusan tahun. Sampai gak berani pegang.

Di ruangan ini kita boleh minum teh hijau hangat yang sudah termasuk harga tiket. Miss M & Mr S berasa jadi tamu :)

Ini namanya butsudan atau altar keluarga. Selain berisi benda-benda keagamaan, biasanya juga jadi tempat meletakkan ihai yaitu papan berisi nama anggota keluarga yang sudah meninggal.

Tangga menuju ke lantai dua.

Kelihatan ya betapa luasnya ruangan ini. Lantai kayunya pun kokoh. Cukup gelap disini sehingga saya sempat tersandung.

Ada banyak barang rumah yang di pajang, bagian dari sejarah sejak berdirinya rumah ini.


Memasuki lantai 3 yang menjadi tempat pemintalan sutra.

Salah satu alat pintal yang cukup jelas di foto. Ada banyak lagi tapi kebanyakan fotonya gelap karena memang ruangannya gelap :(

Jendela Lantai 4 yang merupakan tempat penyimpanan.

Bisa melihat rumah-rumah sekeliling dari lantai 4 ini.

Semua rumah ini ada yang menempati dan tidak semuanya terbuka untuk turis. Jadi musti cek dulu sebelum nyelonong di halaman rumah orang :)

Bagian dari atap Gassho yang bisa terfoto di lantai 4.

Kanda House merupakan tempat terakhir yang saya kunjungi di Ogimachi. Kami pun harus berkumpul di bus sebelum Pk. 17.00 karena saat itu gerbang masuk dan keluar sudah di tutup.


Masih sempat foto sambil menunggu semua peserta tour berkumpul.

Bus kami menjadi bus yang terakhir keluar dari area parkir. Tidak ada yang terlambat berkumpul sebetulnya, tapi menunggu giliran bus keluar karena ada beberapa tour bus yang akan keluar bersamaan. Harus di beri jeda waktu karena seperti yang saya sebut di atas, jalan nya berkelok-kelok dan kadang harus bergantian dengan kendaraan penduduk setempat.

Cukup melelahkan tapi semua senang walaupun masih deg-deg-an dengan nasib perjalanan kami ke Kyoto. Sepanjang perjalanan kembali ke Nagoya Station bus sunyi senyap, hampir semua peserta tour tidur 😁

Tuhan sangat baik buat kami. Bus yang dijadwalkan tiba di Nagoya Station Pk. 20.00 atau bahkan lebih karena mulai ada angin kencang dan hujan kecil, ternyata malah tiba 15 menit lebih dini. Begitu bus merapat, saya langsung turun, pamit dan berterima kasih kepada pengemudi dan tour guide kami Marie dan langsung berlari menuju JR Ticket Office di basement! Cukup terengah-engah karena kami dari lantai 4 dan JR Ticket Office ada di tower sebelah yang menyambung dengan terminal bus. Sebelumnya saya sudah minta teman-teman yang lain untuk siapkan passport masing-masing.

Tiba di ticketing office saya lihat ada antrian... duh πŸ˜“ Mungkin karena lihat muka tegang saya yang celingukan bingung mau antri dimana, petugas tanya saya mau kemana. Saya bilang mau beli tiket ke Kyoto, eh langsung dibilang gak ada! Saya bilang lagi, saya lihat masih ada kok di internet! Dia bilang tunggu ya, dia masuk ke dalam dan sepertinya bertanya ke petugas ticketing, kembali sambil kasih X dengan tangannya, "No train!"  Masih belum nyerah, saya tanya sekali lagi: "Are you sure? No train at all? To KYOTO?" Lalu dia terdiam sejenak, dan tiba-tiba: "Ah, Kyoto!". Akhirnya dia memberikan tanda ke saya untuk mengikuti dia dan saya diantar ke satu loket yang tadi kosong, lalu sekarang ada petugas ticketing-nya. Halah, rupanya tadi dia sepertinya dengar TOKYO bukan KYOTO πŸ˜‚ Udah cape juga kali ya ngurusin orang yang banyak nanya LOL

Petugas langsung tanya kami perlu berapa tiket dan tunjukin saya jadwal shinkansen yang beroperasi besok yaitu Pk. 06.05, Pk. 06.20 dan Pk. 06.45 yang terakhir. Sebelumnya saya sudah sempat cek harga tiket, jadi saya tunjuk yang saya mau dengan harga paling rendah. Tapi ternyata tidak ada lagi, akhirnya saya terima saja yang masih ada di Pk. 06.20 dan ternyata kalau beli minimal 6 tiket kami bisa dapat diskon! Hurah! Saya antri berdua dengan Mrs G, passport semuanya sudah saya pegang. Saat lagi pilih jadwal itu tiba-tiba saya mendengar banyak orang berteriak, begitu saya nengok ke belakang, pintu ticketing office nya tertutup secara otomatis, saya lirik jam di tangan, persis Pk. 20.00! Saya dengar petugas mengumumkan yang masih cari tiket silakan coba di ticketing machine. Karena ada diskon, tiket kami dapatkan dengan harga JPY 5.347/tiket. We were blessed! πŸ˜πŸ’“

Keluar dari ticketing office, saya disambut wajah-wajah ceria teman seperjalanan, bahkan sampe tepuk tangan! πŸ˜‚ Berhubung dimana-mana sudah di umumkan bahwa tempat-tempat umum akan tutup Pk. 21.00 untuk antisipasi cuaca buruk, kami memutuskan membeli bento saja untuk dimakan di kamar masing-masing. Saat kami berjalan kembali ke hotel memang sudah berasa angin mulai kencang dan sangat dingin, sedikit gerimis juga. Tiba di hotel saya langsung ke front desk untuk pesan 2 taxi bagi kami ke Nagoya Station besok subuh Pk. 05.00 karena kereta belum beroperasi jam segitu tapi dijawab tidak bisa karena belum tahu keadaan besok bagaimana. Akhirnya kami semua sepakat kalau memang harus jalan kaki ya sudah, jalan kaki saja. Siapin payung dan jas hujan aja deh. Tapi jam berkumpul jadi di majukan menjadi Pk. 04.30. Bah, ini sih baru melek udah bunyi alarm buat bangun πŸ˜…

Malam itu saya tidur sudah lewat tengah malam. Tiba di kamar saya makan malam yang sudah sangat terlambat sambil membalas pesan-pesan teman di Jakarta yang bertanya soal keadaan kami. Sekalian update Kota, memberitahu bahwa kami sudah mendapatkan tiket shinkansen untuk besok pagi. Oh iya, Takashi pun mengirim pesan kalau tamu sudah check-out sore itu dan dia sudah rapikan rumah yang akan kami tempati. Saya info bahwa kami sudah berhasil mendapatkan tiket shinkansen dan akan tiba pagi sekali, apakah boleh langsung masuk? Kalaupun kena charge setengah hari tidak apa, karena masih pagi sekali. Tapi Takashi bilang masuk saja biar aman, dia sudah sediakan air minum botolan in case kita tidak bisa keluar rumah nantinya. Saya jadi terharu...

Packing-pun saya selesaikan malam itu juga. Dan karena saya selesai mandi sudah hampir Pk. 24.00 saya sekalian tidur pakai baju yang akan saya pakai besok untuk pindah kota 😏 Ya kan hanya tinggal beberapa jam lagi! Supaya saya tidur nya enak tidak bangun terburu-buru kan yaaaaaa LOL Jadi subuhnya saya hanya tinggal cuci muka, sikat gigi, pakai sepatu dan jaket, langsung turun ke lobby.

Saat berbaring malam itu saya mengingat lagi apa saja yang sudah terjadi sepanjang hari... senyum-senyum sendiri dengan mata yang sangat berat, tapi kok susah bener mau tidur. Walaupun saya matikan AC udara masih tetap dingin, saya sempat bangun lagi cek apakah sudah saya packing semua barang-barang? Termasuk cek kulkas jangan sampe ada makanan ketinggalan hihihi Akhirnya sih tetap ketiduran sekitar 2 jam dan bangun sebelum alarm berbunyi.

Lalu gimana acara perpindahan dari Nagoya ke Kyoto besok? Lancarkah? Ya, itu cerita untuk bagian berikutnya, udah cukup panjang post kali ini sampe pegel ngetiknya πŸ˜†